tirto.id - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi meminta pemerintah untuk mengawasi pintu masuk ke Indonesia guna mencegah penyebaran virus Marburg.
Virus Marburg saat ini menjadi sorotan Badan Kesehatan Dunia (WHO) karena telah mewabah dan menyebabkan kasus kematian di Afrika.
“Mencegah penyebaran penyebaran penyakit dari luar negeri itu menjadi suatu proses yang harus dilakukan, sehingga perkembangan-perkembangan adanya penyakit dari luar negeri itu harus menjadi suatu langkah antisipatif,” kata Adib dalam keterangan suara yang diterima reporter Tirto, Rabu (29/3/2023).
Adib mengatakan pengawasan di bandara-bandara internasional perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Marburg. “Kita harus pantau juga dari sisi penerbangan,” ujarnya.
Adib mengingatkan agar Indonesia tidak lengah seperti awal pandemi COVID-19 sebelumnya.
“COVID kemarin kan juga kondisinya seperti ini juga, kita memang tidak boleh abai dengan kondisi-kondisi penyakit-penyakit yang dari luar,” ujarnya.
Adib menekankan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat terkait virus Marburg. Sosialisasi ini disebut Adib bukan upaya menakut-nakuti masyarakat, tetapi sebuah upaya agar masyarakat bisa waspada.
Dia juga berpesan agar masyarakat menjalani pola hidup sehat dengan cukup istirahat dan olahraga sebagai upaya menangkal berbagai penyakit.
“Kalau sudah ada mulai keluhan-keluhan yang seperti penyakit, (dan habis) datang dari luar negeri, segera untuk ke pelayanan kesehatan,” ujar Adib.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memastikan hingga saat ini belum ada laporan kasus atau suspek penyakit Marburg di Indonesia.
Juru Bicara Kemenkes RI, Mohammad Syahril mengingatkan masyarakat jangan sampai lengah terhadap virus Marburg.
“Kita perlu tetap melakukan kewaspadaan dini dan antisipasi terhadap penyakit virus Marburg,” ujar Syahril dalam keterangan tertulis.
Kemenkes menilai virus Marburg (filovirus) salah satu virus paling mematikan dengan fatalitas mencapai 88 persen. Selain itu, belum ada vaksin yang tersedia di dunia untuk mengobati virus tersebut.
“Belum ada obat khusus, pengobatan bersifat simtomatik dan suportif, yaitu mengobati komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit,” ujar Syahril.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan